Selasa, 03 Februari 2009

my article: Etika Profesi Pendeta: Kolegialitas

Profesional seringkali dipertentangkan dengan pekerja dalam hal kemandirian. Kalau pekerja melakukan pekerjaannya dengan menjalankan perintah atasan, profesional menjalankannya secara mandiri berdasarkan ideologi (‘panggilan’) dan kompetensi yang dimilikinya. Penekanan kepada kemandirian profesional ini kerap membawa pada pengertian bahwa seorang profesional pada hakikatnya bekerja seorang diri. Dulu, dokter dan pengacara merupakan contoh-contoh profesional yang seperti itu. Sekarang, konsep kesendirian itu tidak dapat dipertahankan lagi, meskipun sifat kemandirian tetap menjadi salah satu aspek profesionalisme. Memang banyak dokter yang berpraktik pribadi, dan banyak pengacara yang menyediakan layanan secara sendiri, tetapi kebanyakan dokter harus bekerja di rumah sakit dalam tim kerja bersama dengan dokter-dokter yang lain. Apalagi dalam menangani kasus-kasus yang sulit, yang tidak terjangkau oleh satu bidang spesialisasi kedokteran, kerjasama antar dokter spesialis menjadi mutlak. Begitu juga dalam banyak tindakan operasi di mana dibutuhkan lebih dari seorang dokter. Para pengacara sekarang pun cenderung bekerja dalam tim, dan menawarkan jasa mereka melalui kantor-kantor pengacara. Lebih-lebih jika para manajer perusahaan diakui termasuk dalam kategori para profesional, mereka ini mustahil dilepaskan dari konteks tim manajemen.

Keharusan bekerja dalam tim sesungguhnya lebih penting bagi pendeta ketimbang para profesional yang lain. Hal ini berlaku juga bagi mereka yang melayani dalam jemaat sebagai satu-satunya yang berjabatan pendeta. Alasan pentingnya pendeta memahami posisinya sebagai bagian dari tim adalah bahwa publik yang dilayani oleh pendeta merupakan sebuah komunitas yang terstruktur. Para profesional lain pada umumnya melayani masyarakat luas, yang tidak selalu saling berhubungan satu dengan yang lain. Sasaran layanan mereka tidak selalu tetap. Pendeta, sebaliknya, melayani gereja yang pada dirinya adalah sebuah persekutuan yang tetap dan saling terhubung antar dimensi waktu dan tempat. Seorang pendeta harus memahami pelayanannya sebagai satu titik saja dalam rangkaian pelayanan gereja yang telah terbentuk selama berabad-abad dan masih akan terus berlanjut sampai ke generasi-generasi mendatang. Maka, seperti diyakini oleh Trull dan Carter[1], hubungan antar pendeta adalah sebuah tindakan teologis dan sekaligus tindakan etis.

Masalah kolegialitas menyangkut hubungan antar pendeta, baik yang sama-sama melayani dalam satu jemaat, maupun dalam lingkup yang lebih luas, seperti klasis, sinode wilayah dan sinode, bahkan di antara gereja-gereja yang berbeda denominasi di wilayah yang sama. Hubungan antara pendeta jemaat dengan pendeta emeritus, pendeta tugas khusus, dan pendeta pendahulu juga termasuk dalam konsep kolegialitas. Dalam konteks yang lebih luas, konsep kolegialitas seharusnya mencakup juga hubungan antara pendeta dengan pemimpin-pemimpin gerejawi yang lain, baik yang berjabatan resmi seperti penatua dan diaken, maupun pemimpin-pemimpin informal yang pada kenyataannya memiliki pengaruh dalam jemaat. Tetapi fokus makalah ini akan dibatasi hanya pada hubungan antar pendeta.

Hubungan antar pendeta sangat berpengaruh bagi kehidupan gereja yang dilayaninya. Tidak jarang suatu jemaat dibuat terlalu sibuk mendamaikan pendeta-pendetanya yang bertengkar terus, sehingga jemaat itu tidak mempunyai lagi energi untuk melakukan kegiatan yang lain. Badan-badan sinodal juga sering harus menghabiskan begitu banyak waktu dan biaya untuk kasus-kasus yang menyangkut ketidakharmonisan hubungan antar pendeta. Konflik antar jemaat seringkali pecah dan berkembang sebagai perluasan dari konflik pribadi antara pendeta-pendeta mereka. Forum rapat majelis, konven pendeta hingga mimbar gereja tidak jarang menjadi tempat di mana pendeta mengungkapkan perselisihannya dengan rekan kerjanya.

Ada juga jemaat-jemaat yang mengalami dualisme kepemimpinan karena pendeta-pendetanya bekerja sendiri-sendiri. Mereka tidak bertengkar, tetapi tidak juga bekerjasama, bahkan nyaris tidak berkomunikasi. Masing-masing mempunyai visi, misi dan strateginya sendiri. Masing-masing mendesain dan melaksanakan program-programnya sendiri. Jemaat menjadi terbelah, sebagian menjadi fans pendeta yang satu, sebagian lainnya menjadi fans pendeta yang lain. Dalam lingkup klasis dan sinode, sikap pendeta-pendeta yang seperti ini membahayakan kesatuan. Persaingan tidak sehat antara jemaat-jemaat dalam wilayah/klasis atau sinode yang sama dapat terjadi karena para pendeta mereka tidak memiliki jalinan komunikasi yang baik.

Faktor-faktor apakah yang penting untuk mengelola hubungan kolegialtias? Beberapa gereja di luar negeri menetapkan aturan dalam bentuk kode etik bagi pendeta yang memuat pasal-pasal yang secara gamblang menjelaskan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang pendeta terhadap rekan kerjanya. Kode etik tentu memiliki manfaat yang jelas apabila dibuat secara matang dan dijalankan secara proporsional, seperti diusulkan oleh Trull dan Carter,[2] tetapi kebanyakan gereja di Indonesia tidak atau belum memiliki perangkat semacam itu. Lagipula, peran sebuah kode etik, seperti halnya Tata Gereja, tentu saja terbatas dan tidak mungkin menampung semua kasus yang timbul. Dalam pendekatan-pendekatan Etika Profesi, kode etik profesional dipahami sebagai kesepakatan asosiasi para profesional di bidangnya, yang penting untuk membantu para anggota asosiasi dalam menjaga komitmen etis mereka. Namun kode etik saja tidak cukup untuk menjadi dasar pembentukan sikap etis profesional. Dalam hal profesi pendeta, dasar profesionalisme mesti digali dari teologi jabatan kependetaan yang mencakup konsep panggilan, tanggungjawab dan kepemimpinan pelayan.

Masalah Krisis Panggilan dan Kekaburan Tanggungjawab

Merupakan klaim yang umum bahwa kesediaan menjadi pendeta adalah bentuk tanggapan atas panggilan dari Tuhan sendiri. Memang, seperti ditegaskan oleh Trull dan Carter, kejelasan atas panggilan menentukan sikap etis pendeta.[3] Senada dengan itu, William H. Willimon mengatakan bahwa ‘… morality comes as a gracious byproduct of being attached to something greater than ourselves, of being owned, claimed, commandeered for larger purposes’.[4] Lunturnya rasa terpanggil merupakan akar dari disorientasi moral para pendeta. Teologi Protestan memang meyakini panggilan sebagai konsep yang tidak terbatas pada profesi pendeta, melainkan terkait pada semua pekerjaan yang membangun masyarakat. Ini tidak dimaksudkan untuk menyangkali atau mereduksi makna pangggilan kependetaan.

Kekeliruan memahami konsep panggilan bisa terjadi, dan hal ini mempunyai implikasi langsung dalam hubungan kolegialitas. Karena merasa dipanggil oleh Tuhan sendiri, seorang pendeta bisa memahami tanggungjawabnya tertuju kepada Tuhan saja, dan bukan kepada pihak lain mana pun, termasuk gereja, apalagi rekan sejawatnya. Dalam hal ini, Tuhan dipahami sebagai individu yang berada dalam relasi yang eksklusif dengan diri sang pendeta sendiri. Pemahaman yang seperti ini mengakibatkan sang pendeta merasa berhak menentukan secara subyektif corak dan cara pelayanannya, dan memandang rendah kemitraan dengan pendeta yang lain. Padahal panggilan Tuhan bukanlah hanya fenomen batin, tetapi juga peristiwa gerejawi yang melibatkan persekutuan orang percaya, termasuk para pendeta yang lain. Itu sebabnya panggilan atas diri pendeta dirayakan dalam event gerejawi, yaitu kebaktian penahbisan yang, dalam tradisi beberapa gereja, melibatkan pendeta-pendeta yang lain sebagai pihak penahbis.[5] Partisipasi para pendeta lain dalam penahbisan seorang pendeta ini tidak boleh dilihat sekadar sebagai basa-basi gerejawi. Tradisi ini adalah simbol yang powerful, yang mengaitkan antara panggilan Tuhan dengan hubungan dengan para pendeta yang lain dan dengan gereja secara umum.

Jadi, jika panggilan dipahami dalam konteks persekutuan gerejawi, tanggungjawab orang yang dipanggil haruslah terarah juga kepada pihak-pihak dalam gereja. Dengan demikian, seorang pendeta mewujudkan komitmennya terhadap panggilan Tuhan, dalam bentuk-bentuk tanggungjawab kepada jemaat dan rekan sejawatnya. Walter Wiest dan Elwyn Smith menyatakan bahwa implikasi dari paham ‘Imamat Am Semua Orang Percaya’ adalah adanya saling bertanggungjawab di antara para pendeta dan antara pendeta dengan anggota jemaat.[6]

Masalah Kematangan Profesional

Dalam diskursus Etika Profesi dikenal istilah ‘pubertas profesional’ (professional puberty). Seperti kita ketahui, pubertas adalah tahapan perkembangan kepribadian manusia sebelum mencapai kedewasaan. Seorang dalam masa pubertas sangat menonjol keinginannya untuk diperhatikan, diterima dan diakui. Bagi kebanyakan orang, masa pubertas akan berlalu dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya usia. Pubertas profesional adalah fenomen di mana seorang profesional menjadikan pujian dan pengakuan atas dirinya sebagai tujuan utamanya melakukan pekerjaan. Berbeda dengan pubertas biologis, pubertas profesional tidak terkait dengan usia, dan banyak profesional tidak pernah dapat mengatasinya. Seorang pendeta yang disukai jemaat secara berlebih-lebihan dapat mengidap pubertas profesional, apabila terlarut dalam kondisi yang diciptakan oleh para penggemarnya. Popularitas yang tidak wajar, kata Wiest dan Smith, dapat merusak integritas.[7]

Pendeta yang mengidap pubertas profesional akan mudah cemburu kepada kolega-koleganya. Seperti remaja pria yang sedang memperebutkan perhatian seorang gadis, ia akan melakukan banyak cara, seringkali secara overacting, demi memenangkan pujian jemaat. Ia juga mudah tergoda untuk mempolitisir tugas-tugas pastoralnya menjadi sekadar alat untuk membuktikan keunggulan dirinya, kadang-kadang dengan cara memojokkan koleganya. Upaya menggalang kelompok pendukung, yang mau memperjuangkan kepentingannya dalam forum jemaat, juga merupakan ciri pubertas profesional.

Kematangan profesional akan dicapai, dan dengan demikian pubertas profesional akan teratasi, jika terdapat kesadaran yang kuat akan makna pelayanan, istilah yang selalu dikaitkan dengan pekerjaan pendeta. Konsep kepemimpinan pelayan yang bersumber pada Injil menjadikan sikap dan karakter pelayan sebagai model bagi para pemimpin. Kebalikan dari seorang remaja puber, pelayan memperhatikan kebutuhan orang lain, peduli pada kegembiraan orang lain, dan mengutamakan kepentingan mereka, dengan mengabaikan kepentingan, gengsi dan pengakuan atas dirinya sendiri. Kerendahan hati, kerelaan bekerja keras, kepekaan terhadap kebutuhan orang lain dan penyangkalan diri merupakan karakter yang melekat pada diri pelayan. Para pendeta perlu dengan sengaja menumbuhkan karakter ini untuk dapat mengatasi gejala-gejala pubertas profesional.

Masalah Perbedaan

Perbedaan terdapat pertama-tama di dalam jemaat sendiri. Kebanyakan jemaat urban sangat beragam, baik dari segi usia, gender, etnisitas, latar belakang sosial, bahkan juga corak spiritualitas. Hakikat gereja justru melekat pada kenyataan keberagamannya, yaitu bagaimana orang-orang yang berbeda-beda itu membentuk sebuah persekutuan. Sepanjang sejarahnya, gereja mengalami kegagalan maupun keberhasilan dalam membangun persekutuannya. Keberhasilan tercapai bukan karena perbedaan dapat dilenyapkan, tetapi ketika perbedaan-perbedaan yang ada terkelola dengan baik. Kalau sebaliknya, kegagalan, dalam bentuk perpecahan, lah yang terjadi. Persekutuan sebagai kesatuan yang mewadahi perbedaan selalu merupakan tema yang penting, baik dalam Alkitab maupun dalam pemberitaan gereja masa kini. Jemaat selalu diingatkan agar mengelola perbedaan-perbedaan yang ada sebagai kekayaan, bukan sebagai sumber perpecahan. Seharusnya cara para pendeta menyiasati perbedaan-perbedaan mereka merupakan model yang konkret bagi jemaat di dalam membangun persekutuan. Pemahaman dan penghayatan atas teologi jabatan kependetaan, seperti yang saya usulkan di atas, kiranya membantu para pendeta untuk mengatasi masalah-masalah perbedaan.

Perbedaan usia dan gender dapat menjadi masalah karena kebanyakan jemaat dan masyarakat kita berada dalam ‘ketegangan budaya’, yaitu antara budaya tradisional yang paternalistik dan patriarkhal dengan budaya kontemporer yang lebih egaliter. Banyak pendeta muda yang frustrasi karena merasa diperlakukan seperti anak kecil oleh jemaat, sikap yang didukung oleh pendeta tua. Sebaliknya, banyak juga pendeta tua yang merasa disingkirkan oleh rekan juniornya yang datang-datang mau merombak segala sesuatu yang ia sudah bangun bertahun-tahun. Dalam kasus-kasus seperti itu biasanya ada kelompok dalam jemaat yang mendukung pendeta tua, ada juga yang mendukung pendeta muda. Ketegangan antara pendeta tua dan pendeta muda dapat meluas menjadi ketegangan antar generasi di dalam jemaat.

Hubungan antara pendeta laki-laki dan pendeta perempuan bisa lebih pelik lagi. Masih banyak jemaat yang tidak sepenuhnya percaya kepada pendeta perempuan. Stereotype bahwa perempuan lebih lemah, kurang dapat menjaga rahasia dan terlalu sentimental membuat pendeta perempuan seringkali dinomorduakan, apabila bermitra dengan pendeta laki-laki. Sikap jemaat yang cenderung menomorduakan pendeta perempuan ini diperkuat oleh acuan pada ayat-ayat Alkitab yang secara eksplisit bias gender, yang ditafsirkan secara harfiah seperti banyak ayat yang lain. Dalam kasus seperti ini, banyak pendeta laki-laki yang, meskipun secara teoretis menentang diskriminasi gender, membiarkan saja sikap jemaat yang bias gender, karena hal itu menguntungkan dirinya. Perlakuan seperti ini membuat beberapa pendeta perempuan merasa diperlakukan tidak adil, dan membuat hubungan antar pendeta menjadi tidak baik. Jelas bahwa penghapusan diskriminasi gender dalam gereja membutuhkan keberanian untuk melakukan kritik budaya terhadap tradisi-tradisi masyarakat yang bias gender, dan sekaligus reinterpretasi terhadap ayat-ayat Alkitab yang terkesan meneguhkan patriarkhi.

Perbedaan etnis dan latar belakang sosial juga berakar pada budaya masyarakat. Diskriminasi dan pengelompokan rasial dan sosial yang umum dalam masyarakat pada kenyataannya masih kuat juga pengaruhnya dalam jemaat. Konflik antar pendeta yang berbeda etnisitas dalam sebuah jemaat multi-etnis bisa meluas menjadi konflik antar kelompok etnis di antara anggota-anggota jemaat. Jika ini terjadi, yang dipertaruhkan adalah hakikat gereja sebagai sebuah persekutuan yang berpusat pada Kristus, di mana ‘tidak ada orang Yunani atau orang Yahudi, budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan’ (Gal 3).

Perbedaan latar belakang teologi barangkali lebih banyak menimbulkan masalah. Polarisasi antara kubu evangelical/konservatif/fundamentalis dan ecumenical/liberal/kontekstual yang berasal dari Dunia Barat telah merusak persatuan banyak gereja di Indonesia. Berangkat dari paradigma teologis yang berbeda, pendeta-pendeta yang berbeda latar belakang teologinya seringkali membingungkan jemaat karena saling bertentangan dalam pendekatan pastoral, sikap etika sosial, dan konsep kepemimpinan. Ketegangan bisa meruncing apabila salah satu pihak atau kedua-duanya memainkan peran sebagai duta atau agen dari sekolah teologi yang menjadi alma mater mereka, dengan misi ‘menduduki’ atau ‘memonopoli’ gereja di mana mereka melayani, baik pada lingkup lokal maupun klasikal dan sinodal. Keawaman sebagian besar anggota jemaat merupakan faktor yang memudahkan jemaat dimobilisasi untuk mendukung atau mendepak setiap pendeta dengan latar belakang teologis tertentu. Persekongkolan antara pendeta-pendeta dari sekolah teologi yang sama atau sejenis dapat terbentuk demi misi dan kepentingan sekolah teologi tertentu, dan dengan demikian menjadikan gereja sekadar objek sekolah teologi. Barangkali ini bukan benar-benar misi dari sekolah teologi terkait, tetapi lebih merupakan ungkapan chauvinisme sang pendeta terhadap almamaternya. Dalam kasus-kasus seperti ini, jelas bahwa telah terjadi kekaburan arah tanggungjawab dan loyalitas. Tanpa mengurangi jasa kekristenan Barat dan sekolah-sekolah teologi, para pendeta perlu menyadari bahwa tanggungjawabnya adalah lebih kepada jemaat dan gereja yang telah menahbiskannya berdasarkan panggilan Tuhan, ketimbang kepada suatu kubu teologi Barat atau sekolah teologi yang telah mendidiknya.

Perbedaan corak spiritualitas juga mulai fenomental dengan semakin kuatnya pengaruh gerakan kharismatik dan semakin reaksionernya gerakan anti-kharismatik. Para pendeta tidak luput dari pengaruh kedua gerakan ini. Di satu pihak ada pendeta-pendeta yang bukan hanya menghargai spiritualitas kharismatik, tetapi menjadi alat gerakan kharismatik untuk memperluas ‘kerajaannya’ di dalam gereja. Di pihak lain, ada juga pendeta-pendeta yang tidak hanya ‘bukan kharismatik’ tetapi ‘anti-kharismatik’ dan secara agresif berusaha ‘membersihkan’ jemaat dari segala ‘bau’ kharismatik. Penolakan yang sengit dari beberapa pendeta terhadap nyanyian-nyanyian kontemporer, tanpa pertimbangan objektif, merupakan salah satu contoh dari sikap reaksioner gerakan anti-kharismatik. Bagi saya, baik spiritualitas kharismatik maupun spiritualitas-spiritualitas lain yang bukan kharismatik sendiri bukan masalah. Yang menimbulkan masalah adalah ketika corak-corak spiritualitas itu diwadahi dalam gerakan-gerakan yang kemudian, sadar atau tidak sadar, lebih memainkan peran politis.

Masalah sistem

Hubungan profesional di antara para pendeta di dalam satu jemaat atau lingkup yang lebih luas diatur dalam sistem yang hirarkis atau non-hirerakis. Dalam sistem hirarkis, dikenal pembedaan antara jabatan pendeta utama (senior pastor, vicar, rector, gembala sidang, atau ketua jemaat) dan pendeta pembantu (associate minister). Kekuatan dari sistem hirarkis adalah adanya pembagian tugas dan tanggungjawab yang jelas. Seorang pendeta pembantu tidak dituntut menunjukkan kualifikasi yang sama dengan pendeta senior. Sebaliknya, seorang pendeta senior bertanggungjawab untuk membantu, menasihati, dan kalau perlu menegur pendeta pembantu yang memang berada di bawah koordinasinya. Dengan demikian apabila pendeta pembantu menghadapi masalah, baik masalah profesional maupun pribadi, ia tahu kepada siapa ia dapat memperoleh pendampingan.

Wiest dan Smith yakin bahwa struktur hirarkis yang pragmatis tidak perlu dipertentangkan dengan prinsip kesederajatan di antara para pendeta. Wiest dan Smith mendasarkan hubungan antara hirarki dan prinsip kesederajatan pada konsep Reinhold Niebuhr mengenai hubungan antara keadilan dan kasih. Struktur yang diatur secara adil adalah wujud realistik dari kasih dalam konteks sosial.[8] Meskipun demikian, dalam konteks budaya Indonesia yang masih kuat feodalismenya, sistem hirarkis mudah bergeser menjadi sistem yang otoriter.

Sistem non-hirarkis menempatkan semua pendeta dalam posisi yang sejajar. Dalam sistem ini, otoritarianisme agak sukar berkembang. Meskipun demikian, sistem ini bukan tanpa kelemahan. Karena semua pendeta setara kedudukannya, pembagian tugas dan tanggungjawab tidak selalu jelas. Keunikan masing-masing pendeta juga tidak mudah terakomodasi. Pada kenyataannya, dalam jemaat dengan beberapa pendeta, kapasitas kepemimpinan tiap-tiap pendeta berbeda-beda. Sistem non hirarkis mengabaikan perbedaan kapasitas ini. Akibatnya, apabila pendeta-pendeta menghadapi masalah kolegialitas, tidak seorang pun berwenang mengambil peran penengah apalagi penasihat. Dualisme kepemimpinan seperti yang saya sebutkan di atas biasanya terjadi dalam sistem non hirarkis. Hal lain yang sering terjadi adalah terbentuknya hirarki informal, di mana salah seorang pendeta (biasanya yang paling tua atau paling lama) memutuskan sendiri untuk memainkan peran pemimpin utama, mungkin dengan dukungan informal dari anggota-anggota jemaat. Hirarki informal biasanya menambah rumit persoalan, karena sangat wajar jika pendeta-pendeta yang lain tidak mengakui wewenang yang diklaim oleh rekannya tadi.

Jadi, sistem mana pun yang dipakai akan mengandung baik kekuatan maupun kelemahan. Komitmen yang kuat terhadap teologi jabatan kependetaan merupakan cara yang efektif untuk mengatasi kelemahan sistem. Konsep kepemimpinan pelayan, misalnya, akan menggugat secara langsung otoritarianisme yang dapat terjadi dalam sistem hirarkis. Konsep yang sama, yang menekankan sikap mutualistis saling melayani, juga mencegah terjadinya dualisme kepemimpinan yang dapat terjadi dalam sistem non-hirarkis.

Masalah psikologis

Dalam beberapa kasus kolegialitas, kondisi psikologis pendeta memainkan peran yang krusial. Type kepribadian tertentu, pengalaman traumatis dan penyakit jiwa seperti paranoia dapat menghambat seorang pendeta memelihara hubungan yang sehat dengan rekan sejawat dan jemaat. Dalam hal ini tidak ada cara lain kecuali pendeta terkait harus menjalani terapi kejiwaan. Persoalannya, tidak mudah menyadarkan seseorang, apalagi pendeta, akan perlunya ia memeriksakan kondisi kejiwaannya.

Persekongkolan antar pendeta

Masalah kolegialitas pendeta tidak selalu berupa hubungan buruk antara pendeta-pendeta. Bahkan jika hubungan mereka sangat erat pun bisa timbul masalah. Willimon[9] memperingatkan mengenai kecenderungan para pendeta untuk bersekongkol menutupi kesalahan satu sama lain, dengan mengorbankan kepentingan jemaat. Maraknya praktik-praktik persekongkolan antar pendeta ini, kata Willimon, telah membuat jemaat tidak percaya lagi bahwa para pendeta mampu menangani kasus-kasus ‘malpraktik’ yang dilakukan seorang pendeta. Sistem bergereja seringkali didominasi oleh kepentingan diri kalangan pendeta, meskipun atas nama ‘kasih’ dan ‘anugerah’. Dalam sistem seperti itu pendeta yang melakukan pelanggaran moral sangat mudah dimaafkan dan sangat sukar dikenai sanksi, sementara jemaat yang menjadi korbannya diharuskan mengalah begitu saja. Willimon menegaskan bahwa ‘collegiality means much more than tolerating clerical incompetence and providing a united clerical front against the laity and their criticisms of my fellow pastors’.[10] Dalam persekongkolan antar pendeta yang merugikan jemaat, telah terjadi pembalikan konsep kepemimpinan pelayan, di mana jemaat justru dikondisikan untuk melayani pendeta-pendeta.



[*] Penulis adalah dosen mata kuliah Etika Profesi dan Direktur Program Pascasarjana di Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta



Notes:

[1] Joe E. Trull and James E. Carter, Ministerial Ethics: Moral Formation for Church Leaders. Grand Rapids: Baker Academics, 2004, p.125

[2] Joe E. Trull and James E. Carter, Ministerial Ethics: Moral Formation for Church Leaders, p. 195

[3] ibid, p. 23

[4] William H. Willimon, Calling and Character: Virtues of the Ordained Life , Nashville: Abingdon Press, 2000 p. 25

[5] Tidak berarti penahbisan tanpa kehadiran rekan-rekan pendeta tidak mengandung makna tanggungjawab kolegialitas. Di gereja-gereja episkopal, penahbisan biasanya dilakukan oleh uskup, yang sekaligus mewakili gereja termasuk korps pendetanya.

[6] Walter E. Wiest and Elwyn A. Smith, Ethics in Ministry: A Guide for the Professional. Minneapolis: Fortress Press, 1990, p.121

[7] ibid, p. 135-137

[8] ibid, p. 127

[9] William H. Willimon, Calling and Character: Virtues of the Ordained Life , p. 71

[10] ibid, p. 76

Tidak ada komentar: